Sejarah Pos Ronda di Indonesia - Stark History
Sejarah Pos Ronda di Indonesia
Stark History - Dua pos ronda itu terdapat bersisihan. Cuma memiliki jarak 500 mtr.. Pos ronda pertama kelihatan elok serta bersih. Memiliki bentuk persegi empat dengan dikit lengkungan dibagian depan. Catnya kinclong. Pos ronda ke-2 lebih simpel serta lusuh. Memiliki bentuk mirip pendopo kecil. Dindingnya kotor. Dua pos itu masih dipakai masyarakat Cilandak, Jakarta. “Angka pencurian di sini tinggi. Kasusnya beruntun. Tiga motor hilang. Lalu mobil serta burung peliharaan,” kata Syifaunsyah, 36 tahun, praktisi ronda ditempat. Ia katakan jika masyarakat gelar ronda malam sepanjang tiga bulan untuk menahan masalah pencurian. Tapi terakhir semangat masyarakat rontok. “Tidak kuat. Sebab paginya harus kerja,” kata Syifaunsyah. Pos ronda.
Orang seringkali lupakan bangunan ini. lupa merawatnya. Di dalamnya, potongan-potongan riwayat bangsa ini terserak. Dari pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan, persaingan perebutan hegemoni negara serta masyarakat, sampai usaha negara memata-matai rakyatnya. Munculnya pos ronda bermula dari gardu-gardu di pintu masuk keraton Jawa. Jauh sebelum datangnya kolonialisme Eropa. Gardu ini tidak berperan jadi pertahanan atau pemberi tanda batas teritorial keraton. Desa-desa atau daerah di luar keraton belum memiliki batas teritorial jelas. Karena itu, catat Abidin Kusno dalam Penjaga Ingatan: Gardu di Perkotaan Jawa, “maksud kedatangan gardu itu ialah untuk tunjukkan kuasa raja jadi pusat kosmos.”
Pemberi tanda Batas
Kehadiran VOC merubah peranan gardu. Persaingan perebutan hegemoni VOC atas kerajaan tradisionil membuat kuasa kerajaan berangsur melemah. VOC mempersempit kuasa keraton dengan membagi daerah koloninya dengan administratif. Batas-batas administratif desa serta kampung jadi lebih jelas. Jadi penegasnya, VOC membangun gardu menjaga di setiap kampung serta desa. Di kota Batavia, VOC membagi kampung berdasar jati diri asal beberapa orang tempatan. Orang Bali, orang Ambon, orang Bugis, orang Makassar, orang Tionghoa, serta orang Jawa bergabung pada sebuah kampung serta wilayahnya sendiri. Keamanan kampung digenggam oleh kepala kampung (Kapitan) dari semasing barisan. Kepala kampung mengambil beberapa orang untuk membantunya jaga keamanan kampung. Di gardulah mereka mengawali kerja. Setiap malam penjaga gardu mengadakan ronda di kampungnya. Kata ronda datang dari bahasa Portugis serta Belanda. Maknanya sama: berkeliling-keliling. Mereka meronda tanpa ada melebihi batas-batas kampung. Karena di kampung lain telah ada perondanya semasing. Diikuti oleh terdapatnya pos ronda lain.
Tahun 1808
Pos ronda selanjutnya bukan sekedar tampil di kampung serta desa, dan juga ada di tepi jalan raya. Ini berjalan sepanjang serta sesudah pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan sejauh 1.000 km. pada saat Gubernur Jenderal Daendels (1808—1811). Daendels membagi Jawa jadi beberapa Karesidenan untuk memudahkan pengawasan pembangunan Jalan Raya. Ia memerintah pembangunan pos ronda pada tiap jeda tersendiri untuk jaga keamanan pembangunan. Serampungnya pembangunan, pos ronda itu berkembang jadi tempat ubah kuda buat musafir di selama jalan itu.
Menantang Bandit
Masuk akhir era ke-19, pos ronda di kampung serta desa lebih hidup. Bersamaan ramainya perbanditan sosial di Banten, Yogyakarta, Surakarta, Pasuruan, serta Probolinggo. Suhartono W. Pranoto memvisualisasikan perbanditan sosial jadi tanda-tanda protes sosial oleh beberapa petani karena perkebunan serta pabrik menekan pertanian. “Korban perampokan atau perkecuan ialah beberapa pihak yang bikin rugi petani serta memberi dukungan ekstraksi yang dikerjakan tanah partikelir, perkebunan, serta pabrik,” papar Suhartono dalam Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850—1942. Beberapa tuan tanah mengambil serta membayar beberapa jago membuat perlindungan harta mereka dari jarahan beberapa bandit sosial. Pos ronda juga jadi penuh oleh beberapa penjaga siang serta malam. Mereka lengkapi diri dengan senjata tajam serta akan menyampaikan kabar ke masyarakat jika lihat orang meresahkan di seputar kampung. Pengutaraan berita dengan memukul kentongan di pos ronda. Dalam kondisi demikian, bandit-bandit biasa turut manfaatkan ketakutan orang. Mereka menjarah rumah masyarakat biasa. Mengakibatkan masyarakat membayar beberapa jago dengan patungan untuk amankan kampung. Tiap orang masuk serta keluar kampung juga terpantau oleh keamanan partikelir itu. Di sini pos ronda berarti jadi kemandirian masyarakat jaga keamanannya sendiri tanpa ada pelibatan pemerintah kolonial. Pos ronda ialah punya masyarakat. Saat polisi kolonial mulai tercipta pada awal era ke-20, pekerjaan penjagaan property pribadi itu berubah ke polisi. Pos-pos ronda sekarang dibuat lebih permanen untuk kebutuhan polisi kolonial menegakkan wibawa pemerintah.
Merampas Pos Ronda
Jepang pelajari kegagalan pemerintah kolonial dalam menggantikan pos ronda. Jepang membuat Keibodan atau barisan pembantu polisi dari golongan anak negeri untuk isi pos ronda bersama dengan masyarakat ditempat. Beberapa photo pos ronda pada saat Jepang tunjukkan keakraban di antara Keibodan serta masyarakat ditempat. “Kita lihat satu gambar satu gardu yang diambil dari dalam yang mengisyaratkan penggabungan praktik militer Jepang ke kehidupan seharian dalam suatu lingkungan masyarakat Indonesia. Pemungutan gambar seperti ini (dari dalam) mustahil dikerjakan oleh Belanda,” lebih Abidin. Ronda malam dari pos ronda pada saat Jepang menandai kesuksesan pemerintah mengendalikan masyarakatnya. Tidak perduli satu orang memiliki loabel bangsawan atau pangeran, ia tetap harus turut keharusan ronda sesuai dengan perintah pemerintah militer Jepang. “Seorang bangsawan atau pangeran bila telah saatnya lakukan menjaga malam atau ronda desa dengan keharusan itu dikerjakan bersama dengan seseorang juru catat atau abdi dalam keraton,” tulis Cahaya Baroe, 1 Mei 1944. Tapi kendali Jepang atas pos ronda cuma berjalan 3,5 tahun. Beberapa pemuda Keibodan memutuskan semua jalinan itu jadi bentuk suport atas Proklamasi 17 Agustus 1945. Pos ronda sekarang sudah menjelma jadi kantong perlawanan atas tiap usaha masuk tentara Jepang serta Sekutu. Pengalaman Jepang mengatur pos ronda berulang-ulang pada saat Orde Baru. Rezim Soeharto sepanjang hampir 32 tahun memakai pos ronda jadi alat untuk memata-matai rakyatnya sendiri. Lewat program ABRI Masuk Desa, negara masuk ke ruang-ruang terpencil yang jauh dari pusat kekuasaan. Pos ronda adalah tempat penting buat ABRI untuk mengindoktrinasi masyarakat mengenai utamanya ketertiban dan keamanan lingkungan.
Pos Ronda Pada Pemerintahan Seoharto
Pos ronda ada dalam beberapa poster buatan pemerintah Soeharto. Disana terpajang muka Soeharto bertandang ke desa dengan latar pos ronda serta sawah yang menguning. Idenya ialah keamanan dan ketertiban di desa lewat kehadiran pos ronda turut memberi dukungan kemakmuran masyarakat desa. Sesudah kehancuran Orde Baru, pos ronda kembali diambil pindah oleh masyarakat. Ketertiban dan keamanan lingkungan tidak tergantung pada pemerintah. Masyarakat sering mengupayakan sendiri ketertiban dan keamanan lingkungannya tanpa ada keharusan dari pemerintah untuk turut ronda. Serta ini turut menumbuhkan keakraban antara mereka.
Komentar
Posting Komentar